...

Luka Psikologis Yang Disebabkan Oleh Kesepian

        Media sosial memudahkan kita untuk tetap berhubungan dengan banyak orang atau teman sekaligus, dan hanya dengan mengklik tombol komputer atau satu ketukan pada aplikasi smartphone kita bisa menjalin hubungan baru dengan orang asing dari seluruh penjuru dunia yang memiliki minat dan hasrat sama dengan kita. Namun, meskipun pada era ini manusia sudah bisa saling terhubung secara global, orang yang menderita karena kesepian justru semakin banyak.

        Tentu saja, tidak semua orang yang hidup sendiri kesepian dan tidak setiap orang yang kesepian hidup sendiri. Yang menentukan rasa kesepian kita bukanlah kuantitas hubungan kita, melainkan kualitasnya, sampai seberapa jauh kita menganggap diri kita terasing, baik secara sosial maupun emosional. 

        Selain luka emosional dan kerinduan yang disebabkan oleh rasa kesepian, kesepian kronis juga bisa dikaitkan dengan depresi klinis, pikiran dan perilaku bunuh diri, permusuhan, dan gangguan tidur. Yang lebih penting, kesepian memiliki pengaruh yang mengkhawatirkan terhadap kesehatan kita secara umum. Rasa kesepian mengubah fungsi sistem kardiovaskular (mengakibatkan tekanan darah tinggi, meningkatkan indeks massa tubuh, dan kolesterol tinggi), sistem endokrin (meningkatkan hormon stres), dan bahkan sistem imunitas kita. Kesepian juga bisa mengakibatkan penurunan pada kemampuan mental kita, termasuk ketidakmampuan dalam pengambilan keputusan, berkurangnya perhatian dan konsentrasi, penilaian yang terganggu, dan penyakit Alzheimer yang kini semakin cepat berkembang.

Lalu, apa saja luka psikologis yang bisa disebabkan oleh kesepian?


1. Kesalahan Persepsi yang Menyakitkan: Mengapa Kita Merasa Tidak Terlihat tetapi Rasa Kesepian Kita Tampak

Kesepian membawa stigma yang memalukan dan sikap menyalahkan diri sendiri yang beroperasi di seluruh pikiran. Salah satu luka emosional paling signifikan adalah bahwa perasaan itu menuntun kita untuk menumbuhkan persepsi yang tidak tepat tentang diri kita, orang lain, dan untuk menanggapi dengan keras pendapat tentang hubungan dan interaksi sosial yang kita miliki. Kesepian juga membuat kita menilai orang lain secara lebih kasar dan memandang interaksi kita dengan teman-teman dan orang-orang terkasih secara lebih negatif daripada yang akan kita lakukan seandainya kita tidak kesepian.

Ironi yang menyedihkan dari kesepian adalah bahwa sementara kita kerap merasa dianggap tidak kelihatan oleh orang lain, biasanya mereka justru bisa melihat dengan sangat jelas kesepian kita. Banyak penelitian mendapati bahwa orang yang kesepian bisa dengan mudah dikenali oleh orang lain dan akibatnya, begitu kita dianggap sebagai orang yang kesepian, kita pun akan dipandang secara negatif (kurang menarik, bahkan kurang cerdas dibandingkan orang yang tidak kesepian).

Intinya, adalah kesepian berpengaruh terhadap persepsi dalam banyak cara. Ia mempengaruhi cara kita memandang diri kita sendiri dan orang lain, begitu juga cara kita memandang kualitas dari interaksi dan hubungan kita. Kesepian juga berpengaruh pada bagaimana orang lain memandang kita, membuat kita tampak tidak terlalu menarik sebagai calon teman.


2. Ramalan yang Mengalahkan Diri Sendiri: Mengapa Berusaha Lebih Keras Justru Mengarah pada Kegagalan

Banyak perjalanan menuju kesepian diawali selama periode transisi dan perubahan. Mahasiswa baru saat pertama kali tiba di perguruan tinggi, jauh dari rumah, perceraian, perpisahan, kedukaan, kehilangan pekerjaan, dan kondisi pandemi seperti ini, semua hal itu biasanya menjadi awal seseorang merasa kesepian. Dalam setiap kasus, biasanya kita muncul dari kesepian, lalu menyesuaikan diri dengan kenyataan yang baru, serta membangun kembali infrastruktur sosial kita.

Tetapi, kadang-kadang, cengkeraman kesepian yang kuat menjangkau jauh melampaui periode penyesuaian yang biasa. Mengapa hal itu terjadi? Apa yang menghalangi sebagian besasr dari kita untuk membebaskan diri dari ikatan ksepian dan mengembalikan hidup kita ke jalur yang sebenarnya?

Selain persepsi keliru yang menyakitkan, kesepian juga membawa kita ke dalam lingkaran perlindungan-diri dan penghindaran, yang membuat kita menciptakan self-fulfilling prophecy dan yang tanpa kita sadari menjauhkan orang-orang yang ingin kita hubungi. Kesepian menggoyahkan keseimbangan motivasi sosial kita. Begitu kita merasa rapuh dan tidak terhubung secara sosial, kita menjadi sangat protektif pada diri sendiri serta berusaha meminimalisir setiap tanggapan atau penolakan negatif yang mungkin muncul dari orang lain. Akibatnya, kita berelasi dengan sikap tidak percaya, curiga, sinis, dan gelisah, atau bahkan benar-benar menghindar.

Semakin lama kita mengalami kesepian, semakin sulit kita mengubah persepsi serta perilaku. Akhirnya kita berperilaku dalam cara-cara yang membuat orang lain menjauh. Dan kita menganggap menjauhnya orang lain sebagai pembuktian dari ketidakmampuan kita yang mendasar untuk disukai. Akibatnya, kita merasa seperti menjadi korban pasif sehingga tidak mampu menyadari seberapa besar kita sudah menjadi kontributor aktif bagi kesulitan sendiri.


3. Otot Hubungan yang Terhenti: Kita Memanfaatkan Mereka atau Kita Kehilangan Mereka

"Otot-otot relasi" kita berfungsi dengan cara yang sama seperti otot-otot biasa. Saat kita gagal menggunakan otot-otot relasi secara teratur (misalnya kemampuan berempati) atau ketika kita tidak menggunakannya dengan benar, mereka akan berhenti dan menjadi kurang berfungsi.

Persoalannya adalah seringkali kita tidak menyadari sudah seberapa lemahkah otot-otot relasi kita. Sebaliknya, kita justru menerima penolakan dalam relasi sebagai hal yang sangat menyinggung perasaan dan menganggap itu hanyalah cerminan yang sesungguhnya dari ketidakmampuan kita untuk diingini. Bahkan, begitu kita sadar untuk memperkuat otot-otot relasi kita, kita sering gagal untuk mengantisipasi kemungkinan bahwa usaha kita tidak akan berjalan mulus.

Meski tentu saja kita bisa membentuk kemampuan sosial, banyak orang yang mengalami kesepian menghadapi tugas yang jauh lebih berat untuk mengembangkan otot-otot relasi yang tidak pernah digunakan sebelumnya. Mereka perlu mempelajari kemampuan baru serta menemukan keberanian untuk mempraktikkannya, apa pun resiko emosional yang terlibat di dalamnya.

Memahami kebutuhan dan perasaan seseorang dari perspektif orang tersebut penting untuk menciptakan serta mempertahankan pertemanan yang dekat dan keintiman emosional. Ketika otot-otot relasi ini lemah, kita mengabaikan informasi yang sangat penting tentang apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain sehingga usaha kita seringkali gagal.


Setelah kita mengetahui 3 luka psikologis tersebut, kemudian bagaimana cara menanganinya?

Kita akan lanjutkan di artikel berikutnya.


We care, so we share..



(Sumber: buku "Pertolongan Pertama pada Emosi Anda" tulisa Guy Winch, Ph.D. Buku tersedia di Bibliotherapy PKPP)